Rabu, 19 Agustus 2009

ENERGI PLTN

PLTN:
Faktor Pencemaran Lingkungan dan Gangguan Kesehatan

Pada setiap bulan Agustus, kita selalu diingatkan pada peristiwa jatuhnya bom atom (nuklir) di Hirosima dan Nagasaki. Hampir diperkirakan 100.000 orang menderita cirera. Tulisan ini dimaksudkan untuk membuka mata masyarakat luas akan kemungkinan terjadinya kecelakaan PLTN serta bahaya lingkungan dan kesehatan yang timbul ternyata cukup serius daripada yang diperkirakan sebelumnya. Terbukti bahwa secara rata-rata untuk seorang yang tinggal sampai 1 km dari sebuah reaktor nuklir, dosis radiasi yang diterimanya dari bahan-bahan yang dipakai di reaktor tersebut adalah kurang dari 10% dari dosis radiasi alam (dari batuan radioaktif alami, sinar kosmis, sinar-sinar radioaktif untuk maksud-maksud medis) .

Kalau untuk tambang-tambang batubara dikenal istilah "black lung", di mana partikel batubara yang terhirup oleh para pekerja tambang mengendap di paru-paru dan menimbulkan berbagai macam gangguan kesehatan, para pekerja di tambang Uranium (bahan utama untuk bahan bakar PLTN) terutama terkena radiasi dari Carbon 14 (C-14) dan gas Radon yang terpancar dari Uranium alam. Dari data statistik didapat bahwa kedua jenis radiasi ini menelan korban jiwa kurang lebih 1 orang tiap 20 juta MWH listrik yang dihasilkan PLTN per tahun.

Prinsip Kerja PLTN

Dalam reaktor nuklir terjadi proses pemecahan inti atom atau yang lebih dikenal dengan proses fussion, yaitu bahan bakar dipecah dengan penembakan neutron. Pemecahan ini menghasilkan energi dan partikel-partikel. Energi yang dihasilkan sangat besar, yaitu sekitar 200 MeV, dan partikel dasar yaitu photon, elektron, dan neutron. Neutron yang baru terbentuk ini akan menembak atom disampingnya. Demikian seterusnya sehingga reaksi ini dinamakan reaksi berantai (chain reaction).

Tipe reaktor nuklir di dunia kebanyakan adalah tipe LWR (Light Water Reactor), tipe ini menggunakan air biasa sebagai moderator (pengontrol kecepatan neutron) sekaligus menghasilkan uap air yang kemudian digunakan untuk menggerakan turbin. Di Amerika, BWR (Boiling Water Reactor) dan PWR (Pessurized Water Reactor) adalah jenis LWR yang banyak digunakan.

Sistem Pengamanan

Agar keamanan dapat terjamin sebuah reaktor harus dilengkapi dengan sarana pengontrol reaksi berantai dan sarana pendingin serta sarana pengolahan bahan bakar. Berbeda dengan reaksi kimia biasa, reaksi nuklir terjadi secara terus menerus/berrantai. Energi yang dihasilkan ditentukan dari kecepatan terjadinya pemecahan inti atom. Dalam mengontrol terjadinya reaksi ini, neutron yang mempunyai kecepatan tinggi harus diperlambat, hal ini dapat dilakukan dengan bahan yang disebut moderator. Beberapa contoh moderator adalah H2O (light water), D2O (heavy water, graphite dan lain-lain. Selain itu ada pula yang dinamakan absorber yang berfungsi untuk menyerap neutron seperti Baron, Xenon dan senagainya. Dengan cara mengontrol kadar moderator kita dapat mengontrol reaksi nuklir.

Sarana lain yang tidak kalah pentingnya adalah pengontrol panas dari reaktor. Sebuah reaktor nuklir akan bekerja normal apabila berada dalam keseimbangan panas (thermal equilibrium). Biasanya masalah ini dapat ditanggulangi oleh bentuk dan struktur reaktor itu sendiri yang memungkinkan panas dapat dialirkan dan dihilangkan secara alamiah. Perubahan beban kerja akan mempengaruhi reaksi sehingga akan mempengaruhi panas yang terjadi. Tetapi selama perubahan ini terjadi secara perlahan-lahan keseimbangan panas reaktor akan tetap terjaga. Dalam desain permulaan harus diperhitungkan perubahan panas yang terjadi pada saat-saat darurat, dalam hal ini mungkin diperlukan tambahan alat pendingin.

Tabel 1. Perbandingan biaya produksi PLTN dan PLTU (sen US$/kWH)
PLTN



PLTU


. O&M BAHAN
BAKAR
KAPITAL TOTAL O&M BAHAN
BAKAR
KAPITAL TOTAL
1986 1.25 0.75 3.34 5.34 0.44 1.85 0.99 3.27
1987 1.37 0.76 3.25 5.38 0.45 1.69 1.03 3.17
1988 1.46 0.79 3.35 5.60 0.36 1.65 1.06 3.07
1989 1.62 0.75 3.73 6.10 0.39 1.75 0.79 2.93
1990 1.55 0.72 3.70 5.97 0.39 1.77 0.91 3.04
Sumber : Energy Information Administration, US Departement of Energy.

Bagian penting lainnya adalah sungkup reaktor. Bagian luar reaktor harus dibangun lapisan yang kuat, lapisan ini berfungsi untuk menjaga reaktor dari gangguan luar dan sekaligus untuk menjaga agar radiasi dapat dikurung di dalam sungkup reaktor saja apabila terjadi kebocoran dalam reaktor.

Dalam desain seluruh sistim pengaman ini ada beberapa kriteria penting yang harus dipenuhi, misalnyae single falure criteria, dimana kegagalan satu bagian tidak boleh mengakibatkan kegagalan bagian lain, dan multi barrier concept atau sistem pengaman berlapis. Perkembangan teknologi modern yang pesat belakangan ini, terutama dalam bidang komputer adalah sangat besar artinya dalam menjamin terpenuhinya kriteria-kriteria ini. Kegagalan dapat saja terjadi, namun dengan bantuan komputer tiap kesalahan dapat dideteksi dengan cepat dan langkah-langkah yang perlu dapat diambil sedini mungkin untuk menghindari kegagalan total.

Pengalaman Buruk

Kekhawatiran masyarakat terhadap PLTN bukanlah tanpa alasan, telah terjadi beberapa kecelakaan dalam sekala kecil maupun besar. Pada tanggal 28 Maret 1979, telah terjadi kecelakaan yang relatif kecil di TMI (Three Mile Island)-AS, operator tidak menyadari bahwa mereka telah melakukan prosedur yang salah sehingga mengakibatkan reaktor terlalu panas dan akhirnya meleleh. Meskipun pada kecelakaan ini tidak terdapat korban jiwa, namun mempunyai arti yang sangat penting bagi industri nuklir. Sebelum kecelakaan itu, para ahli nuklir sangat yakin betul akan keamanan sebuah reaktor nuklir. Terjadinya kecelakaan ini telah membuka mata masyarakat luas dan para ahli bahwa kemungkinan terjadinya kecelakaan ternyata lebih besar daripada yang diperkirakan.

Kecelakaan terakhir dan terbesar terjadi pada tanggal 25-26 April 1986 di Chernobil, Uni Sovyet dahulu. Kecelakaan ini telah melibatkan secara langsung 135 ribu orang, 24.403 diantaranya dinyatakan terkena radiasi yang cukup berat, dan 29 orang menderita akibat yang fatal. Kecelakaan ini bermula dari rencana untuk mengadakan percobaan untuk mengetahui kemampuan reaktor dalam keadaan darurat. Kurangnya perencanaan matang dan belum mendapat ijin dari yang berwenang serta operator yang bertanggung jawab bukanlah seorang ahli dalam bidang nuklir, mengakibatkan reaktor tidak dapat dikontrol dengan baik.

Industri nuklir adalah industri yang paling banyak mencurahkan tenaga dan pikiran untuk masalah keamanan. Dari penelitian ahli, ditemukan satu titik persamaan bahwa salah satu penyebab utama dalam hampir semua kecelakaan adalah akibat faktor manusia. Hal ini mempunyai arti penting karena secara teori sebetulnya kecelakaan ini tidak semestinya terjasi. Dengan manajemen yang baik dan staf yang kompeten. Faktor ini dapat ditekan seminimal mungkin.

Terjadinya kecelakaan telah membawa pengaruh yang besar terutama mencakup tiga kategori yaitu: perubahan datam perusahaan (institusi), peralatan (equipment), dan cara kerja (operasional). Termasuk dalam kategori yang ketiga ini adalah faktor manusia, operator training, dan kesiap-siagaan dalam keadaan darurat (emergency preparedness).

Di samping faktor manusia, ditemukan pula bahwa terdapat kekurangan-kekurangan dalam desain yang dalam operasi normal tidak terlihat secara nyata, tapi dalam keadaan darurat menyebabkan situasi menjadi sukar diatasi. Setelah menyadari hal ini industri nuklir terus meningkatkan kesempurnaan desain. Selain itu dibentuk badan yang khusus bertugas mengontrol keamanan reaktor. Secara luas kecelakaan ini telah mengubah seluruh struktur, manajemen, dan operasi dari industri nuklir.

Sebagai contoh adalah Commonwealth Edison Company - perusahaan listrik ketiga yang terbesar di Amerika Serikat - yang 41% dari produksi listriknya dihasilkan dari reaktor nuklir telah memisahkan bagian yang bertanggung-jawab akan reaktor dengan bagian dari perusahaan lainnya. Dengan tindakan ini diharapkan bahwa perusahaan dapat mengambil keputusan yang lebih cepat dan efektif. Selain itu, dalam ruang pengontrol telah ditambah dengan teknologi komputer yang dilengkapi dengan layar pengontrol yang lebih canggih. Dengan demikian setiap keadaan yang tidak normal dapat diketahui dan dianalisa dengan cepat dan cermat agar dapat diambil tindakan yang diperlukan dengan segera.

Perubahan yang sangat penting adalah dalam program latihan (training program). Untuk menjadi operator dari sebuah reaktor nuklir kini dibutuhkan pendidikan khusus. Dalam program yang memakan waktu 3-10 tahun ini, seorang operator dilatih secara intensif di dalam maupun di luar kelas. Dengan peningkatan mutu latihan, diharapkan seorang operator dapat mengambil keputusan yang bijaksana dalam segala macam situasi darurat.

Masa Depan Nuklir

Setelah terjadinya kecelakaan ini, ada sebagian mengatakan bahwa kecelakaan ini merupakan akhir dari industri nuklir. Pendapat ini mendapat dukungan dari sebagian masyarakat yang merasa terancam dengan adanya reaktor nuklir. Dalam penyelidikan ditemukan bahwa pihak oposisi telah meningkat dari 26 % menjadi 42 %, dan pihak pendukung telah menurun dari 57% menjadi 49%.

Pendapat senagian lagi ada yang menyatakan bahwa perkembangan industri nuklir itu sendiri tidak terlalu terpengaruh oleh adanya kecelakaan ini. Terdapat faktor-faktor lain yang menyebabkan adanya perubahan dalam perkembangan nuklir, seperti pertimbangan ekonomis. Beberapa negara tetap menggantungkan sebagian besar produksi listrik dari reaktor nuklir seperti, Uni Sovyet dan Jepang. Pendapat ini lebih condong kepada pengaruh positif yang didapat dari kecelakaan ini, dan menyatakan bahwa kecelakaan ini justru menandai akan permulaan industri nuklir yang baru dan lebih aman.

Dalam kenyataan tenaga nuklir tidak mungkin dihapuskan dari dunia ini. Sampai suatu saat dunia mempunyai alternatif baru yang lebih ekonomis dan lebih aman, nuklir tetap memegang peranan yang penting. Adanya kecelakaan ini telah menunda perkembangan industri nuklir, tetapi dalam waktu yang bersamaan telah meningkatkan kesadaran untuk lebih menjaga segi keamanan. Dalam jangka panjang dapat dikatakan bahwa kecelakaan ini telah menbawa pengaruh positif terhadap keseluruhan industri nuklir.

PLTN dan PLTU Batubara dalam Perbandingan

Agaknya telah jelas bahwa Indonesia memerlukan pembangkit-pembangkit listrik baru untuk memenuhi kenaikan kebutuhan listrik di masa yang akan datang. Di AS, untuk tahun 1990, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara (PLTU) diproyeksikan akan memegang masing-masing 12,5% dan 55% dari total pembangkitan listrik, suatu angka yang lebih besar dari kontribusi jenis-jenis sumber energi lain .

Dalam memperbandingkan kedua pilihan ini, perlu diingat bahwa masing-masing berasal dari teknologi yang berbeda, meskipun demikian keduanya menggunakan energi yang dihasilkannya untuk menguapkan air. Selanjutnya uap tersebut digunakan untuk memutar turbin. PLTN merupakan bidang yang cukup baru dibandingkan dengan PLTU. Hal ini perlu ditekankan mengingat Indonesia adalah negara yang sedang berkembang. Selain itu, karena pemakaian bahan-bahan radioaktif untuk PLTN, masalah-masalah yang dihadapi dan faktor-faktor pembentuk hambatan tersebut adalah dua lingkup yang berbeda yang kadang-kadang tidak dapat diperbandingkan secara langsung. Segi-segi polusi, biaya konstruksi, pemeliharaan, bahan bakar dan operasi serta keamanan dan keandalan sistem diambil sebagai pokok- pokok perbandingan dengan harapan masingmasing akan terwakili secara jelas dan menyeluruh.

Faktor Ekonomi

    Secara umum, PLTN dapat digolongkan sebagai investasi dengan modal tinggi dan biaya tahunan yang rendah ( untuk bahan bakar, operasi dan pemeliharaan) atau disebut "high capital low annuities investment" sementara PLTU sebaliknya adalah sebuah investasi dengan " low capital high annuities ". Ini sedikit banyak dapat dihubungkan dengan perbedaan waktu konstruksi : 5-6 tahun untuk PLTU dan 7-10 tahun untuk PLTN. Oleh karenanya, biaya pembangunan PLTN lebih sensitif terhadap perubahan desain dan teknologi reaktor, perubahan standar keamanan, harga bahan baku reaktor dan suku bunga pinjaman dari kapital yang dipakai. Menurut statistik, pembangunan PLTN cenderung untuk "overbudget", dari hanya beberapa persen sampai sekitar dua kali lipat perkiraan biaya semula. Di lain pihak, PLTU lebih sensitif terhadap harga bahan bakar yang berubah-ubah sesuai dengan pasar yang ada meskipun biaya pembangunan tidak akan banyak beranjak dari yang semula diperkirakan. Untuk Indonesia, dimana penyediaan batubara untuk PLTU akan berasal dari perusahaan negara, faktor perubahan harga ini tidak akan sedrastis yang terjadi di pasar bebas.

    Dari beberapa sumber yang dipakai untuk makalah ini diperoleh angka yang berbeda-beda untuk biaya rata-rata untuk kedua jenis pembangkit listrik ini, sehingga hanya dapat disimpulkan bahwa pada umumnya, terutama untuk negara-negara maju di Amerika Utara, Eropa Barat dan Asia, PLTN tergolong lebih murah dari PLTU untuk kapasitas listrik yang sama. Untuk negara-negara sedang berkembang yang masih harus mengimpor sebagian besar dari teknologi pembuatan reaktor tersebut, mungkin didapat angka yang berbeda untuk biaya pembuatan sebuah reaktor nuklir, tetapi sulit didapat data yang akurat untuk itu. Maka penulis hanya akan memberikan gambaran tentang angka-angka yang beriaku di negara-negara maju yang telah kami sebut di atas.

    Maksud dari istilah biaya disini adalah rata-rata pertahun dari seturuh investasi yang dikeluarkan selama masa laik operasinya. Hanya saja untuk masa-masa mendatang harga sebuah PLTN akan mengalami tingkat kenaikan yang lebih tinggi daripada PLTU, terutama karena terdapatnya biaya de-commissioning (penutupan sebuah lokasi PLTN) yang tinggi. Oleh karena itu pada permulaan abad ke 21 nanti keduanya tidak akan berbeda jauh. Walaupun demikian harga PLTN tetap di bawah PLTU. Satu referensi mengungkapkan bahwa rendahnya harga PLTN tersebut dimungkinkan oleh adanya subsidi dari pemerintah setempat untuk memacu penggunaan teknologi baru ini. Tanpa subsidi tersebut, biaya sebuah PLTN mencapai 30-100% lebih mahal daripada PLTU. Tetapi teknologi maju yang didapat bisa dijadikan justifikasi untuk memilih teknologi tersebut meskipun dengan biaya yang lebih mahal.

    Tabel perbandingan biaya pengoperasian pembangkit listrik tenaga nuklir dan batubara untuk beberapa negara maju

Faktor Pencemaran Lingkungan dan Kesehatan

    Faktor pokok kedua dari perbandingan ini adalah tentang polusi yang dihasilkan oleh masing-masing pembangkit listrik. Dari data yang ada, pencemaran udara dari batubara adalah jauh lebih besar daripada bahan bakar nuklir, terutama asap dari hasil pembakaran batubara dalam tungku PLTU. Meskipun berdasarka Undang-Undang No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup setiap PLTU baru diwajibkan untuk memakai "scrubbers" (flue-gas desulphurizer) untuk mengurangi kadar polutan yang dikeluarkannya, PLTU tetap memegang peranan penting datam pencemaran udara secara keseluruhan. Adapun beberapa polutan utama yang dihasilkan dari PLTU adalah sebagai berikut:
    • gas SOx yang dikenal sebagai sumber gangguan paru-paru dan berbagai penyakit pernafasan.
    • gas NOx, yang bersama dengan gas SOx adalah penyebab dari fenomena "hujan asam" yang terjadi di banyak negara maju dan berkembang, terutama yang menggantungkan produksi listriknya dari PLTB. Fenomena ini diperkirakan membawa dampak buruk bagi industri peternakan dan pertanian.
    • gas COx yang membentuk lapisan yang menyelubungi permukaan bumi dan menimbulkan efek rumah kaca ("green-house effect") yang pada akhirnya menyebabkan pergeseran cuaca yang telah terbukti di beberapa bagian dunia.
    • partikel-partikel debu selain mengadung unsur-unsur radioaktif juga berbahaya bagi kesehatan jika sampai terhirup masuk ke dalam paru-paru.
    • logam-logam berat seperti Pb,Hg,Ar,Ni,Se dan lain-lain, yang terbukti terdapat dengan kadar jauh di atas normal di sekitar PLTU.
    Sebagai kondensator dari sikius uap air primer, kedua jenis pembangkit listrik di atas memanfaatkan air dari sumber yang berdekatan dengan lokasinya. Oleh karena itu polusi air yang disebabkan oleh masing-masing kurang lebih berimbang untuk ukuran generator yang sama. Sebuah PLTN rata-rata beroperasi dengan efisiensi panas 33% (40% untuk PLTU). Jadi kurang lebih dua pertiga dari panas yang dihasilkan oleh bahan bakar terpaksa dilepas ke lingkungan meialui sikius pendingin. Untuk sebuah PLT (nuktir atau batubara) dengan ukuran 1.000 MWe yang beroperasi dengan efesiensi 35%, dihasilkan sekitar 1.860 MW sisa panas. Jika air diambil dengan debit 100 m3/s, maka air yang keluar dari sikius sekunder ini akan mengalami kenaikan suhu sekitar 4,5oC, suatu angka yang cukup untuk menggangu kesetimbangan ekosistim dari organisms yang hidup di sumber air tersebut. Dampak ini akan bertambah lagi dengan adanya bahan-bahan kimia pemurni air yang dicampurkan sebelum air tersebut masuk ke sikius pendingin.

    Bertentangan dengan anggapan umum, radiasi sinar-sinar radioaktif (selanjutnya akan disebut radiasi) bukanlah sumber utama polusi pada PLTN. Malah terbukti bahwa secara rata-rata untuk seorang yang tinggal sampai 1 km dari sebuah reaktor nuklir, dosis radiasi yang diterimanya dari bahan-bahan yang dipakai di reaktor tersebut adalah kurang dari 10% dari dosis radiasi alam (dari batuan radioaktif alami, sinar kosmis, sinar-sinar radioaktif untuk maksud-maksud medis) .

    Kalau untuk tambang-tambang batubara dikenal istilah "black lung", dimana partikel batubara yang terh-irup oleh para pekerja tambang mengendap di paru-paru dan menimbulkan berbagai macam gangguan kesehatan, para pekerja di tambang Uranium (bahan utama untuk bahan bakar PLTN) terutama terkena radiasi dari Carbon 14 (C-14) dan gas Radon yang terpancar dari Uranium alam. Dari data statistik didapat bahwa kedua jenis radiasi ini menelan korban jiwa kurang lebih 1 orang tiap 20 juta MWH listrik yang dihasilkan PLTN per tahun. Tetapi karena kedua unsur tersebut mempunyai waktu paruh yang sangat besar, dampaknya akan terus terasa untuk masa-masa yang akan datang. Salah satu pencegahan adalah dengan menempatkan sisa-sisa Uranium tambang di bawah permukaan tanah dimana radiasinya akan ditahan oleh dinding lapisan penyekat khusus, tetapi karena praktek ini juga dilakukan untuk sisa Uranium yang telah tidak mengandung C-14 dan Radon, pada dasarnya belum ada tindakan khusus yang dicanangkan untuk penangangan bahaya dari kedua unsur ini.

    Perlu disimak bahwa masalah radiasi bukan semata-mata berlaku untuk PLTN. Misainya untuk kapasitas 1.000MWe, PLTN menghasilkan 50kCi radiasi yang sebagian besar berasal dari gas Xenon dan Krypton sementara PLTU akan mengeluarkan 2Ci radiasi yang keluar dari cerobong asapnya. Meskipun jumlahnya jauh lebih kecil, radiasi dari PLTU mempunyai dampak kesehatan yang lebih besar karena kalau abu tersebut terhisap akan menetap di paru-paru, sumsum tulang atau jaringan yang lain dan merupakan ancaman yang kontinyu sementara radiasi PLTN lebih berupa sinar yang menembus tubuh dan tidak menetap. Pada kedua kasus ini, radiasi yang dihasilkannya masih berada jauh dibawah limit masing-masing.

Faktor Keamanan

    Salah satu sumber ketidakpastian masyarakat tentang PLTN disebabkan oleh adanya kemungkinan kegagalan sistim yang mengakibatkan bencana pada PLTN, seperti yang terjadi di TMI dan Chernobyl. Karakterisitik bencana pada PLTN dapat didefinisikan sebagai insiden dengan "low probability, high consequences'. Suatu bencana disebut katastrofi jika mengakibatkan sedikitnya 3.000 korban jiwa atau 45.000 orang cedera; maka probabilitas terjadinya katastrofi adalah sangat kecil, yaitu 1 tiap 107 tahun. Di samping katastrofi, insiden-insiden dalam skala lebih kecil yang terjadi di PLTN diperkirakan mengakibatkan kurang lebih 2 korban jiwa tiap 20 juta MWh per tahun listrik dari kanker, tumor, penyakit genetik dan lain-lainnya. Karena pada PLTU angka korban insiden ini sedemikian kecilnya sehingga dapat diabaikan, faktor ini dapat dijadikan satu pertimbangan dalam memilih jenis Pembangkit Tenaga Listrik untuk sumber listrik kita di masa depan. Menjajagi segi keamanan (safety) dari kedua pilihan ini terhadap kemungkinan kecelakaan, terlihat bahwa sebagian besar risiko ditemui pada saat penambangan bahan bakar tersebut. Di AS, sejauh ini teknologi PLTU telah menelan 1.300 korban jiwa dan 40.000 orang cedera sementara untuk PLTN 5.000 orang cedera dan kurang dari 100 korban jiwa

    Limbah nuklir sampai saat ini tetap menjadi sumber utama kecemasan masyarakat banyak tentang PLTN. Sebuah PLTN dengan kapasitas 1.000 MWe membutuhkan sekitar 1 metrik ton bahan bakar dan menghalkan limbah sebanyak kira-kira 70 liter per hari. Sampai tahun 1980, AS telah menghasilkan 36 juta ton limbah dengan radiasi rendah dan 8.300 ton limbah dengan radiasi tinggi. Jumlah ini sebenarnya menghasilkan dampak radiologis yang setingkat dengan ratusan juta ton sampah yang dihasilkan oleh PLTU. Hanya karena konsentrasi radiasi yang tinggi, limbah PLTN membutuhkan suatu penanganan yang khusus. Selama ini, sisa bahan bakar dengan radiasi tinggi disimpan sementara di kolam-kolam penampungan sehingga efek radiasi yang ditimbulkannya dapat diabaikan, tetapi dengan semakin meningkatnya pemakain PLTN dalam produksi listrik, kebutuhan akan suatu metode penyimpanan permanen yang tepercaya terasa semakin mendesak. Meskipun sejauh ini belum ada satu cara yang dapat diterima secara meluas, beberapa metode yang diusulkan meliputi penyimpanan di tambang garam, lapisan granit, dibawah lapisan air tanah atau di dasar laut. Satu syarat mutlak yang telah dipenuhi oleh lokasi-lokasi ini terjaminnya kestabilan geologis untuk masa-masa yang akan datang.

    Untuk PLTN, satu tambahan pertimbangan adalah adanya ancaman terorisme, meskipun sampai sekarang belum ada realisasinya. Meskipun menurut para ahli penggelapan Plutonium untuk pembuatan bom nuklir sederhana lebih merupakan fiksi daripada kenyataan, hendaknya hal ini diperhitungkan juga dalam pemilihan jenis Pembangkit Tenaga Listrik dan lokasinya di masa mendatang. Tetapi dengan sikap waspada dan hati-hati yang selama ini dianut dalam lingkup penggunaan bahan nuklir dan fakta bahwa untuk Indonesia risiko ini adalah lebih kecil daripada di negara-negara lain yang lebih maju dan liberal, agaknya untuk saat ini hal tersebut hanya akan merupakan pertimbangan minor saja. q

(Sumber: Andang Nugroho dan Hindro Mujianto - Permias)
Ir. Nanan Tribuana, Subdirektorat Pengawasan Lingkungan Ketenagalistrikan Ditjen LPE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar