Sebelum membahas sejarah tradisi pendidikan (keilmuwan) dalam Islam. Terlebih dahulu perlu dijelaskan mengenai pengertian pendidikan Islam. Ada beberapa definisi yang dikeluarkan oleh pakar-pakar pendidikan agama Islam yang semuanya menjurus kepada definisi yang dikeluarkan oleh Direktorat Pembinaan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum Negeri (Ditbinpasiun): “Pengertian pendidikan agama Islam adalah suatu bimbingan dan asuhan terhadap anak didik, agar nantinya setelah selesai dari pendidikan dapat memahami apa yang terkandung dalam Islam secara keseluruhan, menghayati makna dan maksud serta menjadikan ajaran-ajaran agama Islam yang telah dianutnya itu sebagai pandangan hidupnya, sehingga dapat mendatangkan keselamatan dunia dan akhiratnya kelak.”
Menurut penulis definisi inilah yang paling benar karena hal ini dapat diimplementasikan pada kehidupan sehari-hari si terdidik.
Islam telah menjadi Negara super power selama kurang lebih 14 abad dan selama itulah Islam telah meninggalkan harta paling berharga untuk umat manusia diseluruh dunia yakni pendidikan. Di dalam Islam pendidikan adalah yang utama. Makna kata “Iqra” adalah motivasi bagi manusia untuk belajar. Di dalam Islam orang berilmu itu diangkat derajatnya oleh Allah SWT (lihat QS. Al-mujadalah: 11). Sehingga benarlah firman Allah yang menyatakan bahwa Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Jadi salah besar jika Islam dikatakan sebagai agama pedang dan barbar.
Sistem pendidikan (sains) didalam Islam tidak terbelit-belit. Jika ada yang tertarik kepada sesuatu mata pelajaran, maka ia boleh fokus pada mata pelajaran tersebut. Walaupun itu adalah yang diminati adalah ilmu nuklir. Pada masa kejayaan Islam, pendidikan warganya ditangani langsung oleh khalifah. Setiap warganya boleh menuntut ilmu, tidak perduli ia miskin atau kaya. Pada saat itu beasiswa adalah biasa, karena pada saat itu sekolah gratis. Biaya pendidikan pada saat itu ditanggung sepenuhnya oleh khalifah. Luar biasa!
Keilmuan tentu tak bisa di pisahkan dari keislaman seseorang, karena taat tidaknya seorang muslim di tentukan oleh seberapa besar pengetahuan dan kepahamannya tentang keislaman itu sendiri. Kita dapat membandingkan antara orang muslim yang paham Islam dengan seorang muslim yang hanya sekedar mewarisi keislaman turunan dari keluarganya.
Islam telah mewajibkan seseorang untuk menuntut ilmu bahkan rasullullah pernah bersabda : “tuntutlah ilmu walaupun sampai di negeri cina”. Maka tidaklah mengherankan bila peradaban yang dibangun oleh Islam mampu menelurkan tokoh-tokoh Ilmuan besar yang karya-karyanya bahkan menjadi rujukan para Ilmuan-ilmuan di barat yang lahir kemudian pasca kemunduran berfikir Islam.
Sejak awal berdirinya Negara Islam di Madinah Al-Munawarah, aspek keilmuan dan pendidikan sangat diperhatikan. Rasul saw pernah memberi syarat kepada para tawanan perang yang tidak sanggup membayar fidyah (tebusan), agar masing-masing dari mereka mengajarkan membaca dan menulis kepada 10 anak-anak kaum muslimin sebagai ganti dari pembebasan mereka setelah Perang Badar. Contoh lain adalah Umar bin Khaththab yang pada masa pemerintahannya, ia menunjuk beberapa orang untuk memeriksa setiap pejalan kaki. Siapa saja yang kedapatan belum mengikuti proses pembelajaran, maka orang tersebut akan di bawa ke kuttab untuk di didik. Perhatian terhadap ilmu dan pendidikan ini berlangsung sepanjang masa Daulah Islamiyah. Daulah juga mendirikan sekolah-sekolah, universitas-universitas, dan perpustakaan-perpustakaan. Kaum muslim pada masa itu juga menerjemahkan berbagai buku berbahasa Yunani, Persi, Hindia ke dalam bahasa Arab.
Secara garis besar terdapat 4 bentuk Lembaga Keilmuan kaum muslim yang pernah ada :
- 1. Al-Katatib
Adalah sebuah wadah keilmuan untuk mempelajari Al-qur’an, menulis dan berhitung. Seorang pengajar bertanggung jawab di dalamnya (untuk tiap kelas). Al-Katatib senantiasa ada sepanjang kehidupan Daulah Islamiyah baik di kota maupun di desa-desa.
- 2. Halaqah di masjid-masjid
Para qari (pembaca), ahli fiqih, dan ahli Hadits melakukan halaqah-halaqah mereka di masjid-masjid Jami’ yang besar. Mereka duduk didalamnya untuk mengajar atau membimbing, sedangkan para penuntut ilmu duduk di sekeliling mereka. Ilmu yang mereka tuntut antara lain bidang fiqih, hadits, tafsir, dan bahasa.
- 3. Lembaga Al-Qur’an dan Al-Hadits
Orang yang pertama-tama mendirikan tempat dan dibuat berkelas-kelas untuk mempelajari A-Qur’an adalah Muqri’ Rasy-an bi Nazhif ad-Dimsyqi pada tahun 400 H di Damaskus. Orang pertama yang membangun tempat khusus untuk bidang Hadits adalah Sultan Nuruddin Mahmud bin Zankiy, juga di Damaskus. Setelah itu tempat-tempat semacam ini tersebar luas di berbagai ibukota negeri-negeri Islam.
- 4. Madrasah (sekolah) dan Jami’ah (universitas)
Lembaga-lembaga semacam ini telah ada sejak abad 5 H. Pada saat sekolah-sekolah sangat spesifik/khusus untuk setiap cabang ilmu, seperti sekolah teknik di Damaskus. Begitu juga sekolah-sekolah Kedokteran.
Ini membuktikan bahwa di awal-awal masa Islam berkuasa pendidikan sudah menjadi suatu keharusan, bahkan disaat eropa masih dalam masa kegelapan (Dark Age), Daulah Islamiyah sudah jauh lebih unggul dan telah memiliki bentuk-bentuk khusus lembaga pendidikan yang siap menampung kaum muslim maupun orang barat seperti Universitas Cordova yang didirikan oleh Al-Hakam bin Abdurrahman an-Nashir di daerah taklukan Islam Andalusia (sekarang Spanyol). Dan tercatat sejumlah besar universitas lain yang didirikan di daerah kekuasaan Islam yangn pada masa itu terbentang hingga 2/3 dunia. Salah satu Universitas besar lainnya seperti Universitas Mustansyiriah di Baghdad.
Universitas-universitas ini telah mencetak para ilmuwan yang pengaruhnya mendunia hingga saat ini melalui berbagai temuan-temuannya, seperti al-Khawarizmi, Ibnu al-Haitsam, Ibnu Sina, Jabir bin Hayan, dan sebagainya.
Berikut beberapa pakar Islam yang karyanya mampu membuat mata dunia terbuka dan berdecak kagum :
- al-Khawarizmi ; ahli matematika, penemu angka nol, sekaligus pencipta salah satu cabang ilmu matematika, algoritma. Beberapa karyanya diterjemahkan kedalam bahasa latin pada awal abad ke-12 dan terus dipakai selama 400 tahun (hingga abad ke-16) sebagai buku pegangan dasar universitas-universitas di Eropa.
- Ibnu al-Haitsam ; master ilmu alam dan ilmu pasti. Ia menulis buku berjudul Al-Manazhir yang berisi tentang ilmu Optick. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa latin oleh Frederick Reysnar, dan diterbitkan di Swiss pada tahun 1572 dengan judul Opticae Thesaurus.
- Ibnu Sina ;(dikenal di barat dengan nama Aveciena). Adalah seorang pakar kedokteran terkemuka hingga abad ini. Ia meniggalkan karya sekitar 267 buku. A-Qanun fi ath-Thibb adalah bukunya yang terkenal di bidang kedokteran.
- Jabir bin Hayyan ; master ilmu kimia yang diakui dunia. Karya-karya beliau di bidang ilmu kimia__termasuk kitabnya yang terkenal: Kitab al-Kimya dan kitab as-Sabi’in sudah banyak diterjemahkan kedalam bahasa latin. Terjemahan kitab al-Kimya bahkan telah diterbitkan oleh orang Inggris bernama Robert Chester tahun 1444, dengan judul The Book of the Composition of Alchemy.
Serta tak terhitung ribuan karya para Ulama di bidang tsaqafah Islam (bahasa Arab, ulumul Qur’an, ulumul Hadits, tafsir, fikih, ushul fiqih, dll) sudah tidak terhitung lagi secara pasti. Di kalangan Ahlus Sunnah saja, selain empat Imam Mahzab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali), kita mengenal as-Suyuthi, Ibnu Taimiyah, al-Ghazali, dll. Imam al-Ghazali misalnya, yang dijuluki ‘Hujjah al-Islam’ telah menghasilkan lebih dari 100 judul buku dari berbagai disiplin ilmu. Ihya Ulumuddin hanyalah salah satu masterpiece-nya.
Negara Islam pada saat itu juga amat memperhatikan berbagai sarana penunjang mutu pendidikan. Beasiswa merupakan pemandangan biasa yang selalu diberikan kepada seluruh warganya, karena memang pada saat itu pendidikan bebas biaya. Khalifah (kepala Negara Darul Islam) memahami bahwa pendidikan rakyat adalah sebuah tanggung jawab Negara. Ini amat berbeda dengan kondisi sekarang dimana pendidikan begitu terasa mahal karena dampak dari liberalisasi sektor pendidikan.
Bukti lain dari perhatian Daulah Islamiyah terhadap pendidikan adalah tersebarnya perpustakaan di seluruh kekuasaan negeri kaum muslim tersebut dengan buku yang cukup lengkap. Bahkan salah satu perpustakaan di masa Kekhilafahan Bani Abasyiah, yaitu Fathimiyyin mempunyai koleksi buku sejumlah 1.600.000 buah, di mana pada saat yang hampir bersamaan, gereja Canterbury di Inggris yang merupakan perpustakaan Masehi terbesar dan terkaya di Eropa saat itu hanya memiliki koleksi buku sebanyak 1.800 buah.
Pada masa rentang kekuasaan Islam, bahasa Arab di pakai sebagai bahasa ilmu pengetahuan yang di pelajari oleh siapa saja. Ada dua keistimewaan pada kaum muslim dengan diberlakukannya bahasa Arab sebagai bahasa resmi. Pertama adalah kemudahan untuk mempelajari Islam dari sisi teks dan makna, mengingat Islam diturunkan dengan bahasa Arab dan turun di jazirah Arab, tentunya literatur dan karya-karya keislaman yang ditulis pada awalnya menggunakan bahasa Arab. Maka sangatlah tidak mungkin untuk mengerti secara mendalam tentang keIslaman apabila kita tidak memahami bahasa Arab. Kedua adalah tetap bisa berkarya dan mempelajari Ilmu pengetahuan umum tanpa meninggalkan salah satu unsur keIslaman yaitu bahasa Arab.
Pengajaran tsaqofah Islam diajarkan pada semua jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas . Di mana tsaqofah Islam bukanlah sebatas ilmu akhlak dan ibadah, namun juga mencakup mu’amalah seperti ekonomi, pemerintahan, sosial, budaya, politik yang kesemuanya di landaskan pada ajaran keislaman.
Berbeda dengan tsaqofah Islam, Ilmu Pengetahuan (sains) diajarkan sesuai dengan keperluan, kemampuan dan kemauan siswa. Ketika seorang siswa yang walaupun baru setingkat SMP atau SMA sudah berkeinginan mendalami Ilmu Kedokteran, maka ia akan segera diberikan ilmu tersebut. Bahkan seandainya seorang siswa sudah berkeinginan dan di pandang mampu untuk mendalami ilmu nuklir, maka ia akan segera diberikan ilmu tersebut. Dengan demikian kesan terlalu berbelit-belit dalam menuntut ilmu tidak akan terjadi di dalam Islam.
Demikianlah gambaran kecil tentang kebesaran peradaban Islam yang ditopang dengan tradisi keilmuan yang sangat kental di kalangan kaum muslim pada masa itu. Mengenai kebesaran itu Jaques C. Reister salah satu sejarawan barat pernah berkomentar, “selama lima ratus tahun Islam menguasai dunia dengan kekuatan, ilmu pengetahuan dan peradabannya yang tinggi“.
Lalu bagaimana dengan kondisi pendidikan kita sekarang? Tentu kita akan mengurut dada karena semua cerita dan sejarah peradaban Islam masa lampau tersebut, jangankan untuk diaplikasikan kembali membayangkannya saja kita sulit. Ini tidak lain adalah karena diterapkannya ideologi kufur ditengah-tengah kita.
Ingatlah bahwa kemajuan suatu peradaban tidak pernah berasal dari peradaban yang lain di luarnya, dan Islam menjadi sebuah peradaban besar bukan karena mengambil atau mencampur ideologi lain di luarnya yang sudah jelas kebobrokannya dihadapan kita. Islam pada masa nya menjadi besar tidak lain karena ia diemban sebagai sebuah ideologi yang diterapkan oleh negara (Daulah Khilafah Islamiyah) ditengah-tengah rakyatnya. (http://ferza.wordpress.com/mugiwara no nakama)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar